ONENEWSOKE.COM
CILACAP, – Dunia jurnalistik kembali dicoreng dengan aksi dugaan kuat adanya penghinaan dan diskriminasi terhadap profesi wartawan. Senin (03/11/2025).
Kali ini, dugaan penghinaan tersebut datang dari seorang pejabat Desa, SPRNO, Kepala Desa Nusajati, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, yang secara terang-terangan menyebut wartawan sebagai “BAJINGAN” melalui pesan aplikasi WhatsApp.
Ironisnya, tindakan Kepala Desa tersebut turut diiringi dengan ancaman akan melaporkan wartawan ke pihak Kepolisian dan memberitakannya di koran.
Tindakan kontroversial Kades SPRNO ini disinyalir dipicu oleh adanya pemberitaan yang mengungkap terkait penjualan tanah bengkok (tamsil) yang merugikan warganya.
Kades SPRNO menganggap narasi berita tersebut “ngawur dan penuh fitnah”.
Padahal, menurut keterangan dari salah satu korban, tatkala dikonfirmasi di kediaman nya, mengakui jika dalam pembelian sawah bengkok Kades SPRNO, dirinya merasa dirugikan dengan nominal yang cukup besar (sekitar rp.93 juta) dan Kades SPRNO pun diduga sudah mengetahuinya.
Namun terkesan cuci tangan dan melimpahkan tanggung-jawabnya kepada inisial TFK, berdalih dialah yang melakukan transaksi berikut penerima uang pembayaran dari korban.
Keberanian Kades SPRNO melontarkan kata-kata merendahkan tersebut menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Karakter pribadinya dianggap menyimpang dan sulit dimaklumi, apalagi diketahui, SPRNO merupakan satu-satunya Kepala Desa di Kecamatan Sampang, Cilacap yang sempat di-DEMO oleh warganya karena dugaan tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga lebih dari seratus juta rupiah.
Kontroversi yang menyelimuti Kades SPRNO semakin parah dengan santernya kabar yang telah menjadi konsumsi publik bahwa ia diduga berselingkuh dengan istri tetangga dekatnya, yang berujung pada kehancuran rumah tangga tetangganya.
Selain masalah hukum dan moral, Kades SPRNO juga menuai kekecewaan warga terkait kebijakannya yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan tradisi masyarakat setempat, terutama dalam upaya melestarikan kebudayaan asli Jawa (“nguri-uri kabudayaan asli”).
Sejumlah narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa, semenjak SPRNO menjabat, ia terlihat menjaga jarak dan sombong, bahkan terhadap teman dekatnya.
Mereka juga menyoroti fakta bahwa sejak ia menjabat (selama lima tahun), baru sekali “nanggap wayang”. Padahal dulu, kegiatan tersebut merupakan tradisi rutin tiap tahun sebagai wujud syukur dan bukti nyata sebagai langkah kongkrit dalam pelestarian budaya Jawa yang adi luhur, sekaligus sarana pemersatu masyarakat.
Mereka menegaskan, meskipun legitimasi Kepala Desa kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, namun publik mengingatkan bahwa dalam negara demokrasi, kedaulatan tertinggi tetap berada di tangan rakyat.
Pejabat publik semestinya tidak menempatkan diri laksana “Penguasa” dengan wewenang tak terbatas, mengingat jabatan memiliki batas waktu dan pada saatnya akan kembali menjadi rakyat biasa.
”Bermitra lah dengan seluruh elemen masyarakat, jangan angkuh, sombong, merendahkan orang lain, merasa paling hebat dan pintar serta lebih mengedepankan ego, dalam mengambil sebuah keputusan, “diungkap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Publik pun mempertanyakan apa maksud dari tuduhan “WARTAWAN BAJINGAN” yang dilontarkan SPRNO, menyusul niatnya untuk melaporkan ke Kepolisian dan memberitakan di koran.
“Tidakkah Kades SPRNO menyadari bahwa demi menjamin Kemerdekaan Pers sebagai PILAR IV demokrasi, wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang.
Sumber : Suliyo








