ONENEWSOKE.COM
BOGOR, — Menyoal adanya pembangunan Gedung olahraga Masyarakat (GOM), yang berlokasi di Ranca Bungur Kabupaten Bogor, yang diduga kuat melibatkan perangkat kerja daerah setingkat dinas, seperti Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas PUPR, jadi sorotan tajam Ketua Aktivis Lembaga Selamatkan Lingkungan Hidup “Shinta Aryana”. Selasa (28/10/2025).
Yang disinyalir dengan adanya pembangunan GOM tersebut, telah melakukan pelanggaran garis sempadan sungai (GSS) Setu Cibaju.
Hal itu menjadi sorotan dan kritikan keras Shinta Aryana, yang sampai saat ini dirinya konsen terhadap keselamatan lingkungan hidup.
Shinta mengatakan, “Ya menurut saya ada hal teknis yang harus dilakukan oleh pihak atau masing – masing dinas, “ungkapnya.
Lebih lanjut Shinta juga menuturkan, “Untuk melihat persoalan ini dari kajian teknis saja dahulu,”cetusnya.
Dirinya juga mengungkapkan, didalam kajian dan saran teknis ada mekanisme yang harus ditempuh melalui dinas PUPR, pihak yang dapat mengeluarkan rekomendasi Site plant proyek tersebut, lalu Dinas DLH sebagai pihak yang mengkaji kepatutan tentang kajian lingkungan hidup, yang memiliki kewenangan.
Jadi ada kemungkinan pengajuan dan pengesahan melalui dinas ini atau dinas terkait yang diawasi oleh PUPR.
“Lalu tidak kalah jauh lebih penting Dinas DPKPP sebagai dinas yang bertanggung jawab dalam penataan pembangunan RTRW sebuah wilayah di Kabupaten Bogor,”kata Shinta menambahkan.
Sementara dari sisi dinas DPKPP yang bertugas melaksanakan urusan pemerintahan dibidang perumahan, kawasan permukiman, dan pertanahan.
“Tugas dinas DPKPP,” Ini mencakup perumusan kebijakan, pelaksanaan program, pembinaan, pengawasan, serta fasilitasi berbagai kegiatan di ketiga bidang tersebut, termasuk pelayanan dan sosialisasi kepada masyarakat,”ujarnya.
Selain itu, Shinta juga memaparkan tupoksi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), yaitu menyusun dan melaksanakan kebijakan di bidang lingkungan hidup, meliputi perumusan kebijakan teknis, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, pengelolaan sampah dan limbah, serta pelayanan publik terkait lingkungan. Tugas lainnya termasuk koordinasi dengan instansi lain, penegakan hukum lingkungan, dan pembinaan partisipasi masyarakat.
Kemudian untuk Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), disampaikan juga oleh Shinta, tugas utamanya dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu, serta menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non-perizinan.
“Fungsi-fungsi ini mencakup perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, promosi investasi, pemrosesan izin, dan penanganan pengaduan terkait investasi dan perizinan,”bebernya.
Jadi, jika ada rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah tentang pelaksanaan pembangunan tersebut, masing – masing dinas tersebut tentunya sudah saling terkoneksi dalam pelaksanaannya , maka menjadi lucu jika arah kebijakan pembangunan GOM, dapat terjadi kesalahan dalam kajian – kajian tersebut menyangkut adanya tanda batas GSS sungai atau garis Setu yang tertuang didalam Permen PUPR ( Peraturan Kementrian PUPR) yang diduga ditabrak oleh Dinas Pemerintah Kabupaten Bogor.
Hal ini mengacu pada Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.
Sambung Shinta, “Peraturan ini menetapkan batas perlindungan sungai dan danau dengan kriteria lebar yang bervariasi tergantung pada tipe sungai (misalnya, bertanggul atau tidak), lokasi (dalam atau luar kota), kedalaman, serta pengaruh pasang air laut atau mata air. Garis sempadan bertujuan untuk melindungi fungsi sungai dan mengatur pemanfaatan sumber daya airnya,”imbuhnya.
Lanjut Shinta , “Jadi kalau dugaan adanya pembangunan gedung yang berdekatan dengan GSS Setu, dapat melalui kajian teknis bersama antara masing – masing dinas yang terlibat dalam menentukan kajian teknis tersebut, harus juga melibatkan pihak SDA atau BPWS yang dalam hal ini menjadi kewenangannya dalam hal GSS Sungai maupun Setu,”cetusnya.
Memang kalau mengacu ke aturan keputusan kementrian PUPR, Lanjut Shinta , “Ada itu larangan membangun sebuah gedung harus keluar dari GSS sejauh 50 meter bahkan lebih, namun hal ini juga berdasarkan kajian ilmiah dari pihak SDA atau dari BPWS. ” Soal GSS ini ada batasan sepadannya, ada GSS yang di terapkan untuk wilayah perkotaan dan ada di wilayah pedalaman, masing – masing memiliki aturan jarak GSS yang berbeda,”ungkapnya.
Itu ada aturannya, dan kalau ada dugaan pelanggaran soal GSS dapat menempuh kajian teknis lebih lanjut juga, itu terdiri dari kajian tentang lebar sungai atau Setu, kedalaman dasar endapan lumpur sendimen tanah dasar Setu, dan hitungan sumber mata air yang berada di Setu itu juga ada hitung – hitungannya, lalu ada juga tentang pungsi air yang terdapat di Setu itu apakah menghasilkan mata air aktif yang mengaliri sumber air dari Setu ke saluran irigasi – irigasi ke lingkungan sekitar untuk pemanfaatan air untuk masyarakat dan pertanian.
” Ya ini belum lagi kajian tentang daya tampung curah hujan yang akan ditampung Setu itu juga ada hitungan nya soal curah hujan,”ucap Shinta yang cukup Vokal dalam penyelamatan lingkungan hidup ini.
“Itu seluruhnya merupakan daftar kajian teknis yang harus diperhitungkan dalam menentukan GSS menurut saya,” ujar Shinta.
Kajian ini akan menjadi dasar rujukan kuat untuk menentukan titik radius antara bangunan dan GSS yang diharuskan melalui aturan tentang UU lingkungan hidup dan Permen Kementrian PUPR.
“Dasar ini harus terpenuhi dahulu baru dapat di realisasikan kalau sudah ada hasil kajian tersebut untuk melakukan keputusan lebih lanjutnya,”kata Shinta menambahkan.
Masih kata Shinta.” Menurut hukum publik di Indonesia, pemerintah dapat dianggap melakukan kejahatan dan pelanggaran hukum lingkungan jika tidak menjalankan kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan lingkungan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Penerbitan izin yang merusak lingkungan juga menjadi bagian secara tidak langsung dalam kerusakan lingkungan kalau tidak melalui koridor dasar kajian tentang izin lingkungan hidup.
Memberikan izin pembangunan, pertambangan, atau perkebunan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup merupakan pelanggaran yang serius.
Hal ini dapat memicu bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Proyek pembangunan yang mengabaikan analisis dampak lingkungan (Amdal),”ujarnya.
Menurut dirinya, praktik-praktik ini seringkali terjadi di balik layar, melibatkan penyuapan, atau pemalsuan dokumen untuk mendapatkan keuntungan finansial,” tegas Shinta.
Terkhusus dalam kasus GSS Setu Cibaju, Shinta sangat geram dan seharusnya pemerintah bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan.
Tidak hanya itu saja, Shinta juga memaparkan jenis sanksi dan pertanggungjawaban Hukum publi, ini menawarkan berbagai mekanisme untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Jenis sanksi yang dapat dikenakan meliputi Sanksi administratif. Menteri atau kepala daerah memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administratif, seperti pembekuan atau pencabutan izin, kepada pihak yang melanggar.
Sanksi ini dapat didelegasikan kepada pejabat pengawas lingkungan hidup. Tanggung jawab pidana bagi pejabat publik yang terbukti terlibat dalam kejahatan lingkungan dapat diproses secara pidana.
“Proses ini biasanya mengikuti jalur penegakan hukum pidana lingkungan yang melibatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kepolisian, dan kejaksaan, “bebernya.
Tanggung jawab perdata juga, dapat dilakukan baik oleh pemerintah atau masyarakat dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan lingkungan hidup.
Diakhir pembicaraannya, Shinta juga dengan tegas mengatakan, “Gugatan ini bertujuan untuk memulihkan kerusakan yang terjadi dan menjamin kesejahteraan masyarakat,”tandasnya.








